masih ingat ketika awal aku menginjakkan kakiku di sebuah hamparan savanna belakang kampusku.waktu itu, ketika sore tak menampakkan mendungnya. bersama kenalan ku yang mungkin “dulu aku tak menyukainya” menyusuri semak-semak yang masih bisa menampakkan bebatuan itu. sambil bercakap tentang hal yang kadang tak perlu dibicarakan. tapi tetap saja, terkadang masih memiliki makna, alaupun pada akhirnya menjadi sebuah canda gurau semata.

sampailah ketempat yang mereka sering menyebutnya “bukit senja”. gambaran sebuah pemandangan sederhana yang menjadi bagian keindahan yang tuhan ciptakan. sedikit bersantai dengan suasana yang mulai sedikit gelap. waktu itu kami bertiga,mungkin tak perlu menyebut nama, setidaknya mereka lah sahabat perjalanan yang tuhan pertemukan dalam pertemuan yang tak bisa dibayangkan. memulai obrolan ringan, membuka “kitab”,begitulah aku menyebutnya, membacanya hingga terdengar seakan tuhan saat itu pula berkata. ditemani dengan gorengan dan sebotol air minum tak bermerek ,diatas tikar bekas yang mungkin terkena noda, semoga saja tak ada najis diatasnya.

matahari mulai menampakkan kemerahannya, tanda senja telah menunggu purnama menggantikan sang fajar. semakin redup, hingga obrolan semakin lama semakin sayup. tibalah waktu penghujung,penutup. menyimpulkan pertemuan dalam sebuah wacana sastra atau sebuah pidato yang bermakna.

terdengarlah. adzan magrib berkumandang, panggilan atas pertemuan. kamipun pulang meninggalkan jejak diantara senja dan bukit.